Saya belum mendapatkan jawaban, kenapa setiap kali mendengar kalimat "jangan ada dusta diantara kita" telinga saya merasa terganggu, hati saya menjadi keruh, otak jadi agak kelu. Apalagi diucapkan oleh mereka-mereka yang sedikit "melecehkan". Setan semakin bersemangat memanasi otak dan hati saya. Terlihat iya, tapi senyatanya tidak disertai hati. Jika terlontar, titik tekan kalimat itu adalah "begitu populisnya ungkapan itu" sehingga substansinya menjadi tersembunyi.
Jika seseorang ingin mengatakan sesuatu, getaran hatilah yang menyatakan bahwa ia serius dengan ungkapan itu. Semakin banyak kalimat orang yang dipertautkan dengan ungkapan-ungkapan populis, maka tujuan utamanya menjadi terabaikan. Jika untuk menarik perhatian orang, perlakukan/tempatkan kata-kata populis itu ketika sedang pendahuluan, ketika sedang pemanasan, ketika sedang menyampaikan gagasan, ketika sedang membaca pikiran seseorang: "apakah ia dungu, biasa-biasa saja, cukup cerdas ataukah sangat cerdas?"
Menghindari dusta harus dilakukan dengan keseriusan, dan itu tidak boleh tercampur dengan bahasa guyonan. Sebaik apapun pelaku-pelaku Overa van Java menyampaikan pesan, pesan itu akan hilang tertelan guyonan yang "menyegarkan", apalagi pemirsanya hanya sekedar menonton sambil menghilangkan penat dan lelah. Secerdas apapun "kata-kata" Dalang Asep Sunandar Sunarya dalam mendakwahi pemirsanya, itu tidak akan berbekas kalau fokus pemirsa ada pada guyonan cepot-gareng-dawala atau intrik-intrik yang disajikan dengan penuh kreasi.
Allah berfirman dalam Q.s. Ali Imron ayat 137: "Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan." Atau yang lebih menyiksa, adalah firman dalam al-Baqarah ayat 10: "Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakitnya; Oleh karena mereka berdusta, maka Allah timpakan kepada mereka siksa yang pedih".
Begitu dahsyatnya akibat dusta, Allah mewanti-wanti dengan berbagai kejadian dan kenyataan bahwa dusta itu tiada berguna, karena yang ada hanyalah kerusakan pangkat 10 bahkan pangkat sejuta. Indonesia contohnya. Semua yang sadar di Indonesia tahu bahwa dusta telah menyebabkan Indonesia penuh ironi. Negara kaya, tapi tersiksa. Katanya merdeka, tapi sengsara. Penduduknya banyak, tapi "semua" melarat. Dan yang membuat semakin terpuruk adalah terpeliharanya kedustaan itu dalam sistem negara.
di Indonesia, orang tidak malu menuntut 15 milyar karena merasa "berjasa" pada negara. Padahal, mengelola take home pay aja masih sambit kiri sambit kanan. Ia telah berdusta pada akal sehat, dan ia tutupi hati nurani dengan lembaran rupiah yang sudah salah. Rekan yang mengingatkan pun ia lewati dengan kekerasan hati. Ajaran Rasulullah tentang amanah pun ia campakkah dengan wahn "cinta dunia takut mati". Memangnya mereka akan hidup selamanya di dunia?
Alangkah berbahagianya setan yang berhasil mengajak manusia untuk berdusta. Ia dan kawan-kawan di negara syetan akan terkekeh habis melihat bangsa Indonesia yang "sadar" terpuruk, tapi tetap sadar mengeruk yang bukan hak. Ia lupa statusnya sebagai khalifah yang diutus Allah untuk beribadah. Syetan merasa sangat senang melihat orang Indonesia yang mengaku-ngaku mampu mengelola negara, tapi nyatanya tak becus mengurus harta. Slogan amanah sebagai pesan agama, ia kubur dalam-dalam di gunung-gunung yang gundul. Tak peduli teman apalagi lawan, ia tekan dengan kesewenang-wenangan.
Ha..ha..ha..ha.. setan terbahak-bahak. "Aku senang berada di Indonesia". Teman-temanku di neraka pastilah orang Indonesia. Dan diantara mereka adalah orang Islam yang dungu, tolol, bodoh, dan sontoloyo. Mereka berada di sini denganku karena mereka dustai hatinya, di-caesar nuraninya. Mereka mengaku beragama, tapi al-Qur'an hanya pajangan di rumahnya. Majelis ta'lim dan dzikir diselenggarakan di rumahnya, tapi sungguh nihil substansinya. Mereka bergelar "H." di depan namanya, tapi itu demi statusnya di masyarakat.
Allahu Akbar wa lillah al-hamd
baarakallahu lii wa lakum
astaghfirullah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar