"Adakah seorang pengajar dan pendidik yang lebih mulia,
lebih tinggi, dan lebih agung dari Rasulullah SAW.?!"
lebih tinggi, dan lebih agung dari Rasulullah SAW.?!"
Indah rasanya jika saya memutar waktu 1479 tahun ke belakang, dimana Rasulullah memulai tugasnya sebagai utusan Allah untuk mencerahkan peradaban yang sudah hancur. Bagaimana tidak indah, sejak saat itu sampai 23 tahun kemudian, setiap detik yang dilewati adalah tabungan kenikmatan abadi yang akan diraih saat hari Akhir. Apalah artinya 23 tahun berjuang/jihad bersama Rasul jika balasan Allah SWT. tiada taranya: Surga selama-lamanya! Apapun yang diminta, akan terkabul saat itu juga, tanpa harus memikirkan haram-halal dunia.
Ketika Rasul ada, apapun masalahnya, semua disertai solusinya. Solusi yang selalu menguntungkan bagi semua, saat ini dan di waktu yang akan datang. Sebagai pusat perhatian, sang Baginda adalah magnet yang mampu menarik siapapun yang berada di sekelilingnya. Setiap kebersamaan adalah kenikmatan. Rasul mampu memotivasi sahabat-sahabatnya untuk sumpah setia membela panji-panji agama. Meskipun mendapatkan keistimewaan dari Allah, tidak ia gunakan privelege itu untuk kesewenang-wenangan.
Jika membaca sejarah, keistimewaan itu Baginda peroleh melalui perjuangan yang tak kenal lelah. Sejak bayi, sang Baginda sudah berpisah dengan ayah (yang meninggal) dan ibunya, melewati 2 tahun susuan di Bani Sa'ad yang mendapatkan kehormatan dan kemuliaan menyertai Rasul. Halimah as-Sa'diyah, yang di awal pertemuan merasa tidak akan mendapatkan keuntungan --karena Rasul yatim-- memperoleh keberkahan yang luar biasa, sehingga ia merasa keberatan mengembalikan Rasul ke pangkuan ibunya.
Ketika berusia 6 tahun, Rasulullah dibawa ibunya mengunjungi paman-pamannya dari Bani Adi bin Najjar di Yatsrib (Madinah). Dalam perjalanan ini, Siti Aminah ibunya, meninggal dunia di Abwa dan dikuburkan di sana. Dua 2 tahun kemudian, kakeknya Abdul Muthallib meninggal dunia ketika Rasulullah saw. berusia 8 tahun. Terpaan itulah --menurut penulis-- yang menempa Rasul menjadi pribadi yang mulia, sehingga Aamul Huzni pun ia lewati dengan sukses.
Betapa beratnya duka yang harus ditanggung Rasulullah SAW saat menghadapi rentetan tekanan, baik fisik maupun non fisik, dari para pemuka kafir Quraisy. Sejarah mencatat, 11 tahun pasca kenabian, paman Rasulullah --Abu Thalib, adalah orang yang sangat berpengaruh di masyarakat Quraisy-- wafat. Perisai yang setiap saat memberikan perlindungan kepada Nabi, Allah ambil sebagai ujian kenaikan kemuliaan Rasul. Tak berapa lama kemudian istrinya tercinta Siti Khadijah ra. juga meninggal. Orang yang sangat Rasul sayangi, karena pengorbanan dan kebersamaannya, karena mampu menghidupkan jiwa saat kesukaran; Allah ambil juga untuk memberikan kabar gembira bahwa istrinya lebih dicintai Allah, dan mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya.
Di awal kenabian, kita harus mengingat bahwa tugas yang sangat berat untuk mengatakan kepada kaum Quraisy bahwa saya adalah utusan Allah untuk mengajak kalian semua kembali ke jalan Allah. Oleh karena itu sangat wajar jika banyak orang mengatakan sang Baginda gila/tak waras. Rasulullah yang bukan pembesar kaum Quraisy mengajak para pembesar untuk memeluk Islam, agama/ajaran yang itu bertolak belakang dengan perilaku keagamaan (kepercayaan) mereka saat itu. Hanya Abu Bakar-lah orang yang pertama membenarkan kerasulan Muhammad SAW., sehinga beliau mendapatkan gelar ash-Shiddiq.
Kita juga boleh membayangkan bagaimana posisi Rasul dan Abu Bakar dan kaum Quraisy saat itu. Boleh dikatakan bahwa mayoritas orang akan bertanya-tanya tentang apa yang dibawa, siapa yang membawa, dan bagaimana efeknya: menguntungkan atau merugikan.
Sekali lagi, karena keseluruhan proses itulah, Rasulullah dicintai sahabat-sahabatnya dan disegani musuh-musuhnya. Hanya orang bodohlah yang selalu memusuhi dan menjauhi Rasul, serta menghasut dan menipu daya orang-orang yang mempercayai Rasul. Itu tidak lain karena tidak ada celah sedikitpun yang bisa dimanfaatkan untuk menyerang Rasul, bahkan dengan logika ilmiah (rasionalisasi akal yang selalu dipuja-puja Barat) sekalipun.
Dari ketika menyampaikan risalah, sang Baginda tidak pernah membentak (qahara), tidak memukul (dharaba), dan tidak mencaci (syatama). Beliau lemah lembut (rafaqa) terhadap orang yang tidak mengerti, dan ramah (lathafa).
Sebelum dimulai, Rasul ucapkan bahwa tujuan menuntut ilmu itu adalah untuk mencari "wajah" Allah, bukan yang lain. Dan diantara metode terpenting dari Rasulullah dalam mendidik ummat manusia adalah dengan teladan terbaik, serta bergaul dengan akhlaq yang mulia. Ketika Rasul menghukum, itu semata-mata demi perbaikan, ia iringi hukuman itu dengan nasihat, bukan pelampiasan atau dendam. Apalagi seakan-akan mendapatkan justifikasi, ada kesempatan memukul dengan dalih menghukum, itu sangat dilarang!!!
Saya kutip hikmah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya: "Barang siapa yang didikannya dengan kekerasan, baik oleh guru, tuan, atau pembantu, maka ia akan terbiasa keras. Kekerasan akan selalu menyempitkan dadanya, menghilangkan semangatnya, membuatnya malas, mendorongnya berdusta, dan bersikap keji karena khawatir ada tangan yang akan melayang melakukan tindakan kekerasan. Kekerasan mengajarkannya tipu daya dan makar, dan akan menjadi kebiasaan dari perilakunya, serta rusaklah nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada dirinya."
Banyaknya pukulan tidak akan menambah apapun pada anak kecuali kekerasan dan kebandelan. Hukuman apapun tidak boleh menyentuh kehormatan anak, dan tidak menjadi penghinaan bagi dirinya. Ingat wahai guru, Kepribadian anak harus dijaga, kehormatannya harus terpelihara. Kekerasan adalah musibah yang melahirkan banyak masalah sosial di masyarakat. Hal itu akan membuat anak mati perasaannya, lemah kemauannya, labil keyakinannya, hilang harapannya, semangatnya turun drastis.
Apakah generasi seperti itu yang akan melanjutkan tongkat estafeta perjuangan kita?
Hai orang tua, apa rela anak-anak Bapak/Ibu dibuat dan dicetak demikian oleh guru-guru di sekolah? Bangkitlah, berdaya lah, merdeka lah, jangan menyerah dengan keadaan yang diciptakan lemah oleh diri sendiri. Ciptakan keseimbangan pendidikan, awasi didikan dan pendidik yang tidak karuan. Ingatkan mereka dengan hikmah wal mau'idlotil hasanah.
Sadarilah, bahwa kehancuran kepribadian dan fitrah anak Bapak/Ibu tidak tergantikan dengan nominal rupiah, atau gemerencing emas yang Bapak/Ibu upayakan setiap waktu. Dan... itu bukan salah orang lain, tapi kesalahan yang diperbuat oleh diri sendiri. Jangan pernah lagi keluar ucap: "Saya sekolahkan karena di rumah, saya sudah tidak mampu mendidik, saya tidak ada waktu karena sibuk mencari nafkah"
Shadaqallah, astaghfirullah al-Adhiim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar