Lama saya mencari orang/guru/ahli yang terbuka (radikal, acak-acakan, merdeka, berdaya) dalam metode/model pembelajaran "sa'enak'e dewe". Baru hari ini saya menemukan istilah "fitting education" di arsip lama (2008-07-18) milik pa Joko, M.Pd. Hal itu sering saya cari untuk pembenaran --istilah saya mah, "mencari teman"-- terhadap kegiatan klasikal saya yang "acak-acakan" di sekolah. Meski silabus dan RPP telah disiapkan, tidak mungkin saya berdiam diri melihat gejala-gejala kelas dan anak didik saya yang belum "siap" belajar, yang tidak mungkin saya jejali mereka dengan patokan-patokan yang ada di RPP. Kekuatan saya pun dalam pengelolaan RPP, selama-lamanya 15 menit. Setelah itu, saya "liar" tak terkendali.
Mungkin, fitting pa Joko belum tentu sepadan dengan apa yang saya yakini dan saya laksanakan di kelas. Tapi, kalimat: "kita mendidik menyesuaikan diri dengan siswa, lingkungan, kebutuhan, dsb. Tidak harus selalu terkekang oleh metode-metode tertentu" membawa saya pada pemahaman yang sama bahwa sebelum masuk kelas, harus kita persiapkan plan A, B, C, D, E, bahkan sampai Z, atau sebanyak jumlah siswa yang ada di kelas. Jadi, saya kasihan sama RPP. RPP tinggallah seonggok dokumen yang biasanya hanya berlaku untuk kegiatan pengawasan (kepala, pengawas, dinas, tim akreditasi), dan sangat jarang dibuka dalam pelaksanaan evaluasi.
Bagi saya, KBM itu adalah latihan bergaul diantara warga sekolah dengan etika yang sempurna sampai kita paripurna, KBM adalah media untuk melatih akhlaq kita demi kemajuan bangsa. Oleh karena itu, saya tidak heran dengan Baginda kita yang bersabda: "Saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq". the main point is ethics. Etika akan membawa siswa menghormati guru, membuat guru sayang siswa, menghentikan kepala sekolah memotong bantuan, mencipta sekolah sebagai tempat yang dirindukan peserta didik, dan meramaikan masyarakat dengan budaya yang mendukung majunya bangsa.
Sebetulnya, pejabat-pejabat pengurus pendidikan itu tidak lupa etika, buktinya ada di pasal 3 UU Sisdiknas, dimana "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Namun, yang dilupakan adalah mengajak seluruh komponen bangsa bekerja sama, bahu-membahu, dan berjalan seiring, demi tercapainya fungsi dan tujuan sistem pendidikan nasional tersebut.
Point kerja sama misalnya, sudah sejauh manakah sekolah diajak kerja sama? orang tua diajak kerja sama? guru-guru diajak kerja sama? apakah anak didik juga diajak kerja sama? Yang terjadi adalah kerja sama berbuat dosa". na'udzubillah min dzalik. Indikasinya sederhana, runtuhnya sekolah yang baru dibangun, kepala sekolah yang "setorannya" melebihi gajinya, orang tua yang lebih rela anak-anaknya lulus terpaksa (yang penting ijazah) daripada menerima didikan etika, dan siswa yang berani melempari (merusak) sekolahnya. Padahal, itu baru satu pangkal, yaitu UN yang tidak terurus secara amanah.
Dalam melaksanakan pembelajaran, faktor guru adalah utama. Guru ideal adalah guru yang digugu dan ditiru karena akhlaqnya mulia, terlepas ia mendidik siswa dengan cara apa. Guru yang seperti itu merdeka dalam mendidik siswa, hatinya tenang, suasananya ia buat nyaman, ia rangkul semua faktor kesuksesan dalam kebersamaan. Kebanyakan dari mereka hampir sulit membuat efek jangka pendek, kecuali untuk segelintir anak didik, tabungannya baru dirasakan beberapa waktu kemudian. Namun demikian, dari proses didikan seperti itulah yang memberi dampak melekat, tidak akan sirna walau sekejap, tidak seperti telinga bodong: "masuk kiri keluar kanan, masuk kanan jebol di kiri".
Pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan broker, jangan pernah ganggu mereka dengan provokasi-provokasi yang tidak perlu, terutama provokasi kebijakan: "terlihat memajukan, padahal stagnan". Saya tidak rela, anak didik kita disajikan pemandangan demo guru-guru, rapat-rapat guru, dan guru-guru yang menyambi di dunia lain, atau bahkan hidup di dunia yang menghancurkannya. Pemerintah yang baik seharusnya memberikan kepercayaan yang penuh kepada mereka, berdayakan mereka, jangan biarkan mereka "nyambi", penuhi hak-hak mereka. Pemerintah jangan lupa pijakan guru itu ada dimana, jangan seperti memperhatikan, padahal menjerumuskan: "dilepas kepalanya, dikunci ekornya". Kalau terus seperti itu, cobalah ingat PENGADILAN di hari akhir nanti, meski hanya 10 detik.
Bagi saya, guru yang fit adalah guru yang setiap saat siap sedia berkomunikasi intensif dengan anak didiknya, dalam suka maupun duka. Guru yang diingat karena kelembutannya, keikhlasannya, dan point-point pendidikannya, bukan karena abuse of power-nya. Secara pribadi, saya punya guru yang terus dikenang, tapi kebanyakan mereka adalah guru-guru yang tidak terkenang, bahkan tidak ada di dalam memori sama sekali. Meski diingatkan teman-teman berkali-kali pun, mereka tidak ada di hati. Dan yang membuat saya heran, guru yang ada di hati adalah mereka yang mendidik murid-muridnya dengan cinta, mendidik saya dengan etika, yang itu tidak akan pernah ada dalam RPP. Jika guru ikut RPP, guru hanyalah robot berbadan manusia.
Guru yang fit adalah guru yang tidak terusik dengan pemerintah. Pemerintah mau apa, silahkan. Jika produknya bagus, alhamdulillah, karena itulah mereka digaji masyarakat. Jika produknya tidak bagus, subhaanallah, dan ketika diingatkan oleh masyarakat (karena cintanya masyarakat kepada saudaranya yang pejabat) janganlah bangun benteng pertahanan duluan. Apa susahnya, mendengarkan barang sejam dua jam, kemudian kunci lidah, camkan di memori, serap di hati. Jangan jawab saat itu, karena semuanya "apologi", bawa ke kantor, ke rapat kebijakan. Hilangkan ego, apalagi kepentingan duniawi sesaat. Menurut saya: "belum bijak kalau bergejolak". Dan ingat pula, setiap kebijakan yang berdampak, jangan lupakan akhirat, karena malaikat tidak pernah rehat mencatat.
Jika guru telah fit, maka akan ia kelola proses pembelajaran secara maksimal. Dampaknya akan ia pertanggungjawabkan secara penuh. Anak didiknya tidak lulus UN, ia akan pasang badan, anak-anaknya tidak beretika, ia tanpa sungkan berkata: "Maaf, ini salah saya".
coba.... pernah dengar ga ada guru yang bilang MAAF?
Kenapa tidak mau? karena mereka selalu direcoki, diganggu, dan dipreteli kemerdekaannya, disibukkan dengan administrasi, kompensasi yang tidak pernah mencukupi, bahkan tidak dipercaya lagi.
Bisa kita pahami jika guru mengajar seperti rutinitas mandi. sesuai RPP pun sudah alhamdulillah. Pikiran mereka hanyalah patokan kurikulum: yang penting tercapai materi. Itu siswa mau jadi apa, guru tidak peduli, kecuali yang sudah pintar otaknya sejak awal. Padahal, jika kelas mereka diisi 40 orang siswa, maka seorang guru minimal harus mempersiapkan 40 treatment. Isi satu batok, tidak mungkin sama dengan isi batok-batok tetangganya. dan... guru yang rutin, hanya punyai 1 cara untuk menempa 40 kepala. Oleh karena itu, jangan pernah bayangkan outputnya akan seperti apa.
Yu mari kita bayangkan, "bisakah RPP arahnya sama dengan yang dikehendaki sang Baginda?"
bisa saja terjadi sinkronisasi, tapi itu hanya bagi guru yang militan dan komitmennya tinggi hanya karena Allah, meski ia harus melabrak ke sana kemari dalam hal administrasi dunia. Mereka itu yang hanya berfikir bahwa esensi KBM di sekolah adalah bagian dari pengabdian kepada Allah SWT., adapun perolehan gaji/insentif/bonus atau apalah namanya, itu adalah indikasi cinta-Nya dan pemenuhan janji-Nya dalam bentuk duniawi.
Mengakhiri,
saat ini saya senang dengan SD Peradaban di Serang, SMP Qoryah Toyyibah SalaTiga, Kolesse de Britto Jogja, Muthahhari Bandung, MAN 3 Malang, saya mencintai pemikiran DikDoank (Kandang Jurang Doank), saya suka Dr. Seto, Dr. Arif Rahman juga. yang lain-lain tidak disebut, maaf ya... biar Allah yang menyebut Anda-anda semua. dan jauh di atas segalanya, tentunya Baginda Rasul Muhammad SAW.
kepada semua, maaf ya...
astaghfilullah al-adlim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar